Sabtu, 26 Agustus 2017

Albertus Christiaan Kruyt

Albertus Christiaan Kruyt

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Albertus Christiaan Kruyt
Albert Christian Kruyt.jpg
Lahir Albertus Christian Kruyt
10 Oktober 1869
Mojowarno, Jombang, Jawa Timur, Indonesia
Meninggal 19 Januari 1949 (umur 79)
Gravenhage, Belanda
Kebangsaan Bendera Belanda Belanda
Pekerjaan Misionaris
Teolog
Dikenal karena Penyebar Kristen di Sulawesi Tengah (Poso)
Pendiri Kota Poso
Anak J. Kruyt
Albertus Christiaan Kruyt atau A.C. Kruyt, (lahir di Mojowarno, Jombang, Jawa Timur, 10 Oktober 1869 – meninggal di Gravenhage, Belanda, 19 Januari 1949 pada umur 79 tahun) adalah seorang guru, teolog, dan penginjil Indonesia-Belanda. Dia adalah orang pertama yang menyebarkan agama Kristen di Sulawesi Tengah, terutama di Kabupaten Poso.[1]

Daftar isi

Kehidupan pribadi

Albertus Christian Kruyt dilahirkan 10 Oktober 1869 di Mojowarno, Jawa Timur. Kruyt dari kecil telah disiapkan oleh ayah dan ibunya untuk menjadi seorang penginjil di kemudian hari. Untuk itu, menjelang usia sekolah, Kruyt dikirim oleh kedua orang tuanya ke Belanda untuk mengikuti pendidikan di sana mulai tahun 1877. Kruyt ditahbiskan sebagai pendeta pada tanggal 16 Juli 1890.[2]

Sejarah

Menyebarkan agama Kristen

Kruyt menginjakkan kakinya di pantai selatan Teluk Tomini, dekat muara Sungai Poso.[3] Pada saat itu, wilayah pedalaman belum ditempati oleh pemerintah kolonial. Penduduk setempat saat itu tunduk pada Kerajaan Islam Luwu di selatan, dan dua kerajaan yang lebih kecil, Sigi dan Tojo, tetapi hubungan mereka dengan kerajaan ini terutama dari karakter mitos dan ritual. Beberapa tahun kemudian, Nederlands Bijbelgenootschap (Bible Society) Belanda mengirim ahli bahasa Nicolaus Adriani, untuk membantu Kruyt dengan menerjemahkan Alkitab. Mereka meninggalkan jejak mereka pada pekerjaan misionaris Belanda di Indonesia selama dekade pertama abad ke-20. Dalam banyak aspek, pendekatan Kruyt itu masih menggunakan sistem dari abad ke-19. Dia mencoba menemukan sekolah, belajar bahasa lokal, memberikan hadiah kecil untuk mereka yang hadir pada ibadah hari Minggu, dan memberikan bantuan medis untuk orang sakit dan terluka. Namun, dalam beberapa hal ia mengambil sikap yang berbeda.[4]
Pada awalnya, Kruyt, seperti para pendahulunya di bidang misi lainnya, mencoba untuk "membuktikan" bahwa roh-roh dan kekuatan yang ditakuti dan disembah oleh orang Toraja itu tidak nyata, dan tidak ada. Tetapi orang-orang tidak menerima pendapat "ilmiah"-nya. Kruyt memutuskan untuk memahami sikap mereka dan berhenti menyerang agama mereka secara langsung. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa Tuhan dengan pesan yang dia bawa bersamanya adalah lebih kuat daripada dewa lokal dan roh. Ini adalah tingkat berdebat yang bisa dimengerti orang.[5] Beberapa tahun kemudian, untuk membuktikan hal tersebut, di sebuah desa ditata dua set kebun: satu disertai dengan ritual adat, yang lain tanpa ritual apapun, dengan tujuan untuk melihat mana yang akan melakukan lebih baik. Ketika tidak ada perbedaan sama sekali, desa tersebut menyatakan bahwa mereka siap untuk merangkul iman Kristen.[6]
Namun, Kruyt berpendapat bahwa "serangan" langsung pada agama tradisional tidak cukup. Seperti pendahulunya dari abad ke-19, dia ingin pesan Injil untuk menembus ke dalam hati orang-orang dan membawa mereka ke pertobatan pribadi.[7] Tapi lebih baik daripada mereka, dia mengerti bahwa untuk menyentuh bagian terdalam dari para pendengarnya, dia harus mengetahui pola yang berlaku dalam pikiran mereka. Jadi dia mulai mempelajari agama dan budaya setempat di beberapa daerah lain di Hindia Belanda dengan intensitas tanpa preseden dalam misi penginjilan, yang membuatnya salah satu ahli etnografi terkemuka pada masanya, dikutip juga oleh para sarjana asing, dan membuatnya mendapatkan gelar doktor Honoris Causa dari Universitas Utrecht pada tahun 1993.[8] Mungkin apa yang membuatnya terobosan baru dalam aspek ini adalah fakta bahwa, sebagai rekannya yang berpikiran di Papua Barat, F.J.F. van Hasselt, adalah putra seorang misionaris, untuk siapa masyarakat adat dan cara mereka ada sesuatu yang ia lihat dari masa mudanya paling awal. Magnum opus-nya adalah De Bare'e sprekende Toradja van Midden Celebes (The Bare'e Speaking Toraja from Central Sulawesi), berjumlah tiga volume, yang diterbitkan bersama-sama dengan Adriani.[9]
Namun demikian, setelah tujuh belas tahun, pembaptisan pertama berlangsung. Bahkan, sejak 1898, salah satu pemimpin adat yang paling berpengaruh, Papa I Wunte, menyatakan kesiapannya untuk menjadi seorang Kristen. Namun, dari rasa tanggung jawab untuk kesatuan dan kesejahteraan rakyatnya, ia merasa ia tidak bisa mengambil langkah ini saja. Tidak seperti misionaris abad ke-19 pada umumnya, Kruyt menghormati sikap ini dan tidak mendesaknya untuk maju secara individual. Orang lain juga merasakan hal serupa, merasa tertarik dengan agama baru, tetapi mereka terlalu banyak melekat pada masyarakat tradisional. Selain itu, orang-orang di daerah Poso khawatir dengan Penguasa Muslim mereka di Palopo, yang secara resmi melarang mereka untuk mengubah agama mereka. Ikatan dengan Luwu adalah lebih dari sekedar politik: Luwu adalah contoh dari cara hidup lama; jika mengabaikan peraturan ini, akan mendapatkan sanksi supranatural dari roh (kepercayaan).

Mengembangkan pendidikan di Poso

Kruyt, yang menyadari bahwa pekabaran Injil di Poso membutuhkan sarana pendukung strategis, yaitu mendirikan sekolah. Pada tahun 1891, Kruyt mulai banyak berkunjung ke desa-desa sekitar Poso Pesisir. Salah satu usaha yang dilakukan Kruyt adalah mendirikan sekolah di desa Panta dan Tomasa di wilayah Pebato (Poso Pesisir) yang merupakan sekolah pertama yang didirikan oleh Kruyt pada tahun 1891, dan disusul desa lainnya di wilayah Pebato diantaranya desa Malitu, Poso Pesisir Selatan.
Pada awalnya pembukaan sekolah-sekolah di wilayah Pebato menemui hambatan karena beberapa alasan, pertama, adanya pandangan masyarakat Poso bahwa sekolah bertujuan mendidik para budak Belanda. Kedua, adanya pandangan masyarakat bahwa biaya sekolah yang gratis merupakan daya tarik, tetapi kemudian akan diminta bayaran dan apabila tidak mampu membayar maka anak akan dijadikan jaminan. Ketiga, adanya tekanan dari Kerajaan Luwu dan Kerajaan Sigi, agar orang Poso tidak diizinkan untuk sekolah, karena akan menyaingi kepintaran mereka. Keempat, adanya anggapan masyarakat bahwa sekolah akan merusak kehidupan adat masyarakat poso. Kelima, sekolah akan merongrong kewibawaan orang tua, dan anak-anak tidak perlu pintar.[10]

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru, AC. Kruyt sejak awal mendatangkan guru dari Minahasa, yaitu J. Sekeh, M. Kalengkongan, Kaligis, Kolondam, Posumah merupakan guru pertama yang datang ke Poso. Sejak tahun 1904 setiap desa di wilayah Poso mulai didirikan Sekolah Rakyat (Volkschool), dan masyarakat merasakan bahwa pendidikan sangat bermanfaat sehingga mereka mendukung pembangunan gedung sekolah secara swadaya. Kebutuhan tenaga guru masih tetap didatangkan dari Minahasa, tetapi karena jumlah Volkschool terus bertambah maka untuk mengatasi kebutuhan guru tahun 1915 didirikan Vervolgschool, dan lulusan Vervolgschool diangkat menjadi guru pada Volkschool (SR).[11]
Menyadari akan kebutuhan guru yang terus meningkat, Kruyt memikirkan perlu mendirikan Sekolah Guru (Kweekschool), dengan maksud agar guru-guru Volkschool mulai direkrut dari orang-orang poso sendiri dan tidak tergantung guru dari luar daerah (Minahasa). Pemikiran Kruyt mendapat respon dari Nederlands Bijbelgenootschap (NBG) di Belanda, dan pada tanggal 27 Januari 1913, Hollandsche Indische Kweekschool (HIK) (Sekolah Guru) didirikan di Pendolo, dan Kruyt ditetapkan menjadi kepala sekolah dibantu oleh A. Possumah. Sekolah Guru Cursus for Volka Onderwijers (CVO) atau Opleiding for Volks Onderwijers (OVO) didirikan di Pendolo, dengan masa belajar 2 tahun, dengan jumlah murid angkatan pertama sebanyak 14 orang, masing-masing 1 orang dari Pebato, 1 orang dari Napu, 2 orang dari Bancea, 6 orang dari Wingke Poso, dan 4 orang dari Lage. Pada tahun 1917 didirikan Sekolah Bumi Putera Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Poso.
Bentuk pendidikan model barat, menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, dengan masa belajar 7 tahun. Murid sekolah ini diutamakan dari anak-anak golongan bangsawan dan tokoh terkemuka tanpa membedakan golongan etnis dan agama. Sampai tahun 1932, jumlah murid HIS sebanyak 167 orang, termasuk diantaranya 21 orang adalah penduduk asli Poso.

Pembebasan Poso dari Kerajaan Luwu

Pada akhir tahun 1893, Kruyt sudah menetap di Poso. Dalam perjalanan penginjilannya banyak kampung yang dipindahkan dari gunung dan mendekati jalan. Pada tahun 1896 Kruyt beserta Nicolaus Adriani mengadakan perjalanan jauh yang bertujuan untuk membebaskan seluruh penduduk di tanah Poso dari kekuasaan Datu Luwu di Palopo. Kruyt menuju Makassar dan meminta Gubernur Belanda di sana untuk memberikan surat pembebasan kekuasaan Datu Luwu atas Tanah Poso. Dengan dikeluarkannya surat itu, Datu Luwu tidak dapat berbuat apa-apa dan kekuasaannya berakhir di tanah Poso. Atas usaha-usaha dan karyanya maka pada tahun 1897, Kruyt di anugerahi penghargaan Bintang Oranje Nassau oleh pemerintah Hindia Belanda.[12]
Pada tahun 1932, Kruyt bersama istrinya kembali ke Belanda. Ia telah merintis penanaman benih Injil bagi penduduk di Tanah Poso. Di Belanda, Kruyt menjadi anggota pengurus Zending dan mencetus ide agar Sekolah Guru di Poso dikembangkan menjadi sekolah pendidikan Teologia karena Zending akan sulit menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat Poso. Kruyt mengharapkan agar jemaat-jemaat hasil pekabaran injil di Sulawesi Tengah dapat mendirikan satu organisasi gerejawi sendiri. Harapan ini muncul setelah ia mendengar bahwa di Sulawesi Utara telah lahir Gereja Masehi Injil di Minahasa pada tahun 1934 dan di Maluku telah lahir Gereja Protestan Maluku pada tahun 1935.[12]
Pada waktu itu terjadi Perang Dunia II, sehingga hubungan penginjilan terputus dan Zending mengalami banyak tekanan. Dalam keadaan tersebut, penatua-penatua dan para guru-guru jemaat mau tidak mau harus mandiri mengurusi jemaat masing-masing. Sesudah perang berakhir, maka kemandirian jemaat sudah teruji dan mulai berdirilah persekutuan gereja-gereja baru. Pada tanggal 18 Oktober 1947, Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) berdri dan menyatakan diri sebagai salah satu persekutuan gereja di Indonesia. Berita ini menjadi kesukaan bagi Kruyt dalam masa akhir hidupnya, dengan menyaksikan hasil karya penginjilannya berdiri jadi satu organisasi gerejawi.[12]




Kematian

Pada tanggal 19 Januari 1949, Albertus Christian Kruyt yang telah mempersembahkan seluruh hidupnya untuk pekabaran injil di tanah Poso meninggal dunia.[12]

Warisan

Cita-cita Kruyt ialah penciptaan suatu "blok" Kristen di Sulawesi Tengah. Blok itu meliputi seluruh daerah Teluk Tomini, Teluk Bone dan Selat Makassar sejauh masih menganut agama leluhur. Karena Kruyt telah memberikan waktu dan buah pikirannya di Poso untuk menyatakan kebenaran Injil untuk tanah poso, dia mendapat panggilan kehormatan: "A.C. Kruyt, Pelayan Orang Poso" (Bahasa Inggris: "A.C. Kruyt, Servants of Poso's People").[2]

Referensi

  1. ^ Sajogyo Institute No. 1, 2015.pdf "Cagar Alam, Modal, dan Adat: “Konsesionalisasi” dan Eksklusi Wilayah Adat Tau Taa Wana Posangke Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah" (PDF). Sajogyo Institute. Diakses tanggal 2016-08-11.
  2. ^ a b "A.C. Kruyt, Pelayan Orang Poso". GKST Anugerah Palu. Diakses tanggal 2016-08-11.
  3. ^ "Refleksi Peradaban: Menyambut Pemimpin Baru Tana Poso". Poso Raya. Diakses tanggal 2016-08-11.
  4. ^ Kraan, Nol (2000). Twee blijde boodschappers. Brieven uit Bada van Jacob en Elisabeth Woensdregt 1916–1928 (dalam Bahasa Belanda) (ke-1 ed.). Belanda: Zoetermeer: Boekencentrum.
  5. ^ Kobong, Th (1989). Evangelium und Tongkonan: eine Untersuchung über die Begegnung zwischen christlicher Botschaft und der Kultur der Toraja (dalam Bahasa Indonesia) (ke-1 ed.). Belanda: Ammersbek b. Hamburg: Verlag an der Lottbek.
  6. ^ "De weg van magie tot geloof - Utrecht University Repository" (PDF). Universitas Utrecht. Diakses tanggal 2016-08-11.
  7. ^ "Levensbeschrijvingen van Zendelingen". Protestant Zending. Diakses tanggal 2016-08-11.
  8. ^ Kruyt, Jan (1970). Het zendingsveld Poso: geschiedenis van een konfrontatie (dalam Bahasa Belanda) (ke-1 ed.). Belanda: Kampen: Kok.
  9. ^ Gerrit, Noort (2006). De weg van magie tot geloof: Albert C. Kruyt (1869–1949), zendeling-leraar in Midden-Celebes, Indonesië (dalam Bahasa Belanda) (ke-1 ed.). Amsterdam, Belanda: Zoetermeer: Boekencentrum.
  10. ^ Schrauwers, A (2000). Colonial ‘Reformation’ in the highlands of Central Sulawesi, Indonesia, 1882–1995 (dalam Bahasa Inggris) (ke-1 ed.). Toronto, Kanada: University of Toronto Press.
  11. ^ Brink, H. van den (1943). Dr. Benjamin Frederik Matthes: zijn leven en arbeid in dienst van het Nederlandsch Bijbelgenootschap (dalam Bahasa Inggris) (ke-1 ed.). Amsterdam, Belanda: Amsterdam Press.
  12. ^ a b c d "Pengaruh Agama Kristen Terhadap Suku". Kristian Pabeta. Diakses tanggal 2016-08-11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar